ayobaca.co SAMARINDA – Langkah-langkah kecil itu terdengar di sela-sela riuhnya Jalan Juanda, Samarinda. Dua bocah lelaki, dengan pakaian yang sudah lusuh, melangkah tegar di bawah terik matahari.
Di tangan mereka tergenggam keranjang berisi kripik pisang dan singkong, bekal perjuangan untuk membantu menyambung hidup keluarga.
Agung (9) dan Nofal (10), dua siswa yang mengeyam pendidikan salah satu SD di Samarinda, sudah mengenal arti kerja keras di usia belia. Sepulang sekolah, mereka tidak bermain gawai atau berlari ke lapangan untuk bermain seperti anak-anak lainnya.
Sebaliknya, mereka berjalan kaki menyusuri kawasan Juanda, menjajakan dagangan dengan senyum tulus di wajah mereka.
Senyum itu tetap ada, meski lelah terlihat jelas di raut mereka. Panas terik dan beratnya langkah di trotoar Samarinda tak membuat mereka menyerah.
“Awalnya enggak mau, capek, panas,” ujar Agung dengan polos, saat ditemui di salah satu kafe di kawasan Wijaya Kusuma, Juanda 2. “Tapi lama-lama, ya harus. Supaya bantu orang tua.”
Kedua orang tua Agung dan Nofal bekerja serabutan. Sang ayah kadang menjadi kuli bangunan jika ada panggilan kerja, sementara sang ibu membantu tetangga atau kerabat saat ada hajatan.
Pekerjaan tak menentu ini membuat penghasilan mereka terbatas, sehingga Agung dan Nofal merasa perlu turun tangan.
Meski masih sangat muda, mereka memahami tanggung jawab besar di pundak kecil mereka.
“Kami jualan dari siang sampai sore, kadang habis, kadang enggak,” ujar Nofal sambil tersenyum kecil.
Di tengah perjalanan mereka berjualan, kebaikan sederhana terkadang mereka temui. Saat masuk ke kafe untuk meminta segelas air putih dengan es untuk menghapus dahaga, penjaga kafe menyambut mereka dengan ramah. Air dingin yang mereka terima seolah menjadi penyegar semangat, meski hanya untuk sejenak.
Seperti anak-anak lainnya, Agung dan Nofal juga punya mimpi. Mereka mengidolakan Cristiano Ronaldo, bintang sepak bola dunia yang kisah perjuangannya sering menjadi inspirasi banyak orang.
“Suka main bola, kalau besar nanti mau jadi pemain bola,” kata Nofal penuh semangat.
Namun, Agung punya cita-cita lain yang begitu menyentuh.
“Kalau sudah sukses, saya mau bangun panti asuhan,” ucapnya pelan tapi pasti. “Supaya anak-anak lain enggak kesusahan.”
Kata-kata Agung tak hanya menggambarkan kemuliaan hatinya, tapi juga menunjukkan kedewasaan yang luar biasa untuk anak seusianya.
Saat ditemui di kafe, Agung dan Nofal sempat mengajak saya bercanda dan berbagi cerita. Kebahagiaan kecil mereka terpancar saat saya membeli dagangan mereka.
Duduk sejenak bersama mereka, saya mendengar cerita tentang suka duka berjualan, tawa polos mereka yang kadang terselingi rasa lelah, serta mimpi-mimpi yang mereka gantungkan di langit Samarinda.
Dua bocah ini adalah cermin dari semangat juang yang tak kenal batas usia. Meski hidup sederhana dan terbatas, mereka tetap menyimpan harapan besar. Agung dan Nofal mengajarkan bahwa senyum bisa menjadi pelipur lara, dan mimpi adalah api yang terus menyala meski angin kehidupan kadang berembus kencang.
Langkah kecil mereka di Jalan Juanda bukan sekadar langkah untuk mencari rejeki. Itu adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik, yang penuh harapan dan keberanian.
Dan di tengah hiruk pikuk Samarinda, Agung dan Nofal adalah dua cahaya kecil yang menerangi jalan siapa pun yang melihat perjuangan mereka. (GT)
Dua Bocah, Dua Mimpi: Agung dan Nofal, Pejuang Kecil dari Samarinda
