Portalraya.com, KUTAI KARTANEGARA – Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali memprediksi Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi membatalkan hasil Pilkada di Kutai Kartanegara dan tiga kabupaten lainnya. Prediksi ini disampaikan dalam diskusi terpisah di Jakarta, Senin (13/1/2025).
Prediksi tersebut didasarkan pada gugatan hukum yang diajukan peserta Pilkada dari Kutai Kartanegara, Tasikmalaya, Bengkulu Selatan, dan Maluku Barat Daya. Para penggugat menyatakan kompetitor mereka tidak memenuhi syarat karena telah menjabat dua periode, sesuai putusan MK.
Effendi Gazali menyebutkan bahwa MK memiliki konsistensi dalam memutus masa jabatan kepala daerah. Hal ini didasarkan pada empat putusan penting MK:
Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 (17 November 2009).
Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020.
Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 (28 Februari 2023).
Putusan MK Nomor 129/PUU-XXII/2024 (14 November 2024).
“Dalam semua putusan tersebut, MK menegaskan bahwa masa jabatan setengah atau lebih dihitung sebagai satu periode,” ujar Effendi pada Senin (13/1/2025).
Ia menambahkan, ketentuan ini berlaku untuk pejabat definitif maupun penjabat sementara. MK juga menegaskan bahwa penghitungan jabatan bersifat akumulatif.
“Bahkan jabatan presiden dibatasi dua periode. Kepala daerah tidak boleh menjabat lebih dari itu, apalagi sampai 14 tahun,” tegasnya.
Effendi Gazali memperkirakan hasil Pilkada di empat daerah tersebut kemungkinan besar akan dibatalkan. Menurutnya, penegakan konstitusi diperlukan untuk mencegah pelanggaran di masa mendatang.
“Penegakan ini demi menjaga demokrasi dan keadilan. MK harus bertindak tegas agar pelanggaran serupa tidak terulang,” tambahnya.
Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mendukung pandangan Effendi Gazali. Ia menekankan bahwa lembaga terkait, seperti KPU dan Bawaslu, harus mematuhi putusan MK mengenai masa jabatan.
“Jika KPU dan KPUD tidak mengikuti putusan tersebut, maka hasil Pilkada otomatis dinyatakan tidak sah,” ujar Boyamin.
Ia memperingatkan bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK dapat berdampak buruk bagi negara. Menurutnya, Pilkada ulang akan memboroskan anggaran dan berpotensi memicu konflik sosial di daerah.
“Keputusan MK harus diikuti untuk menghindari ketidakpastian hukum,” jelas Boyamin.
Effendi dan Boyamin sama-sama menekankan pentingnya menjaga integritas demokrasi melalui kepatuhan terhadap hukum. Mereka berharap semua pihak memprioritaskan konstitusi demi mencegah konflik dan ketidakpastian.